October 23, 2008

Break Thy Heart

As dictated by Faranza Syns

I was heartbroken when I found out that not a single one of my work for the BM Department, all my karya, was not published in the school magazine.

Zi Kang: Did you notice that when we editted the magazine, not a single one of your short stories got published?

Me:.... Really? I didn't notice.

Zi Kang: Yeah. Not a single one. You know why? Actually, your work was brilliant. 'Madahku' was beautiful. I thought E Von was gonna publish it. But you see... when she gave the story to Pn Rozita and Pn Norsham, they said it was not straightforward. The idea is not clear, and the language...the story is hard to understand, too.




But Zi Kang... you said you wanted abstract. So I gave you abstract. Seriously, when he told me that, I didn't really feel like crying. But after a few seconds, I couldn't help myself. I took a deep breath, then nodded. I felt like blaming him, felt like screaming at the top of my lungs that he wanted me to write abstract. If I hadn't, then maybe some of my work would get in. But before I could say a word, a look came over him.


Zi Kang: I know, I'm sorry. It's my fault.

Me: . . .

Zi Kang: . . .




I guess I appreciate him admitting it was his fault. But maybe my work really is hard to comprehend. I don't blame him. I just need to brush up on my skills.

I'll just have to keep on digging deep inside for the jewel everyone's looking for.



Zi Kang: Oh, yeah, I owe you a treat, right?



Heck, that made me smile. ^_^


Amanda told me to post Madahku here. Since it won't be published anywhere else, I might as well put it to good use.


Enjoy.

Or if you don't understand, pretend to anyway.


_____________________________________

Madahku


Melodi pilu bermain di segenap penjuru, selembut titisan air mata ibu, bercucuran membasahi bumi. Tangisan tiada kedengaran, hanya sayup-sayup jeritan hati meronta-ronta, mencari jalan keluar dari kurungan kepedihan nan terpendam.

Jeritan suara anak kecil, hati muda membisik kalimah suci… nama ibu. Jari-jemari halus menggapai udara, tercari-cari. Ke manakah perginya ibu? Tubuh lemah ketandusan kasih ibu. Ibu, aku kelaparan! Di mana kamu, ibu? Ibu, segeralah pulang!

Tidak, anakku! Ibu tidak rela! Ku lontar dirimu jauh dari sisiku, dari jiwaku, dari hatiku. Biarpun hujan turun membanjiri tanah merekah, mengusai kemarau nan panjang, luka di hati tiada pengubatnya. Biarlah darahnya mengalir, hangat dan pekat. Mungkin pada waktu itulah akan selesai kepahitan yang terbuku di hati.

Angin meraung-raung, mencari memori indah detik-detik lalu, ingin ditiup jauh kesengsaraan yang meretakkan hati. Si kecil melepaskan raungan jiwa, merintih, meminta, memohon dileraikan simpulan rindu di hati. Perlahan…perlahan…cengkaman pilu di hati melembut, lantas rebahlah dia ke alam mimpi, dibuai seribu bintang, dilindungi awan mendung malam.

Oh, si ibu! Penderitaan yang datang bertubi-tubi bak hujan batu telah meranapkan hatimu. Sunyikah hatimu kerana dicemuh, dihina, dan dibuang bagai sampah? Runtuhkah mahligai kasihmu kerana kehadiran anak kecil itu? Lahir si anak ke dunia bak nur yang indah, tapi duniamu bagai dibayangi kegelapan malam, sesalanmu mencapai langit yang ketujuh.

Oh, terimalah diriku, ibu. Tiada lagi yang ada untukku di dunia yang luas ini selain dirimu. Belailah rambutku dengan jari-jarimu yang lembut. Sentuhlah jiwaku dengan suaramu nan merdu. Hilangkanlah pedih di hatiku dengan ciumanmu yang halus bak awan. Usaikanlah keraguanku dengan senyuman manismu yang tidak ternilai. Ku tiada berbapa, hanya sebatang kara, hanya tubuhmu yang mampu menghangatkan duniaku daripada kesejukan.

Rantapan si anak tidak dihiraukan. Si ibu memekakkan telinga, dibiarkan sendirian darah dagingnya yang menangisi pemergiannya, menangisi ketiadaannya. Wahai ibu, biarpun seluruh dunia memerangimu, anakmu tetap mencintaimu. Baginya, kamulah bumi, kamulah langit, dan segala kebahagiaan yang dapat dicipta hanyalah akan tercipta bersamamu. Madahnya buat dirimu tinggi, cintanya buat dirimu tulus. Sakit yang menjerut hatinya benar. Mengapa engkau sanggup meninggalkannya? Mengapakah engkau sanggup meninggalkanku?

Sepurnama demi sepurnama, penantianku tiada terhenti. Menanti saat kau kembali, meninggalkan segala-galanya buatku. Tetapi kau tetap tiada, dan aku tetap sendirian. Masih kekal madahku buatmu, namun kepedihan hati menghancurkan segala-galanya. Kau pergi, tidak kembali, langkah tersusun, mengejar alam yang fana! Si anak di sini menangis, menanti bunga yang tidak berputik. Senja nan sayu, merangkak menutup mentari. Mendung berlabuh, bertabur dan berlalu. Siang berganti malam, namun kau tetap tiada. Di sinilah berakhirnya segala-galanya. Di sinilah noktah terakhir madahku buatmu.

Di sinilah berakhirnya rentetan soloku nan pilu.

- Farhana Azahar, 2007



___________________________________

Yes, it's hard to understand.

But I'll continue writing. It's in my blood. I can't just banish it from my flesh, my soul, my heart of hearts.

This isn't the end. Watch me grow. You'll be amazed.





His own words:
Zi Kang owes you a candle-light dinner.

You betcha.

0 comments: