January 30, 2013

Rentetan Solo

As dictated by Faranza Syns

This is actually a repost of an older blogpost. The older post had a bit of a ... well. Lulz. Let's just say it was a bit too overwrought for my taste. Hence, a repost - a more lucid one. Here goes nothing.


Madahku


Melodi pilu bermain di segenap penjuru, selembut titisan air mata ibu, bercucuran membasahi bumi. Tangisan tiada kedengaran, hanya sayup-sayup jeritan hati meronta-ronta, mencari jalan keluar dari kurungan kepedihan nan terpendam.

Jeritan suara anak kecil, hati muda membisik kalimah suci… nama ibu. Jari-jemari halus menggapai udara, tercari-cari. Ke manakah perginya ibu? Tubuh lemah ketandusan kasih ibu. Ibu, aku kelaparan! Di mana kamu, ibu? Ibu, segeralah pulang!
 
Tidak, anakku! Ibu tidak rela! Ku lontar dirimu jauh dari sisiku, dari jiwaku, dari hatiku. Biarpun hujan turun membanjiri tanah merekah, mengusai kemarau nan panjang, luka di hati tiada pengubatnya. Biarlah darahnya mengalir, hangat dan pekat. Mungkin pada waktu itulah akan selesai kepahitan yang terbuku di hati.

Angin meraung-raung, mencari memori indah detik-detik lalu, ingin ditiup jauh kesengsaraan yang meretakkan hati. Si kecil melepaskan raungan jiwa, merintih, meminta, memohon dileraikan simpulan rindu di hati. Perlahan…perlahan…cengkaman pilu di hati melembut, lantas rebahlah dia ke alam mimpi, dibuai seribu bintang, dilindungi awan mendung malam. 

Oh, si ibu! Penderitaan yang datang bertubi-tubi bak hujan batu telah meranapkan hatimu. Sunyikah hatimu kerana dicemuh, dihina, dan dibuang bagai sampah? Runtuhkah mahligai kasihmu kerana kehadiran anak kecil itu? Lahir si anak ke dunia bak nur yang indah, tapi duniamu bagai dibayangi kegelapan malam, sesalanmu mencapai langit yang ketujuh. 

Oh, terimalah diriku, ibu. Tiada lagi yang ada untukku di dunia yang luas ini selain dirimu. Belailah rambutku dengan jari-jarimu yang lembut. Sentuhlah jiwaku dengan suaramu nan merdu. Hilangkanlah pedih di hatiku dengan ciumanmu yang halus bak awan. Usaikanlah keraguanku dengan senyuman manismu yang tidak ternilai. Ku tiada berbapa, hanya sebatang kara, hanya tubuhmu yang mampu menghangatkan duniaku daripada kesejukan. 

Rantapan si anak tidak dihiraukan. Si ibu memekakkan telinga, dibiarkan sendirian darah dagingnya yang menangisi pemergiannya, menangisi ketiadaannya. Wahai ibu, biarpun seluruh dunia memerangimu, anakmu tetap mencintaimu. Baginya, kamulah bumi, kamulah langit, dan segala kebahagiaan yang dapat dicipta hanyalah akan tercipta bersamamu. Madahnya buat dirimu tinggi, cintanya buat dirimu tulus. Sakit yang menjerut hatinya benar. Mengapa engkau sanggup meninggalkannya? Mengapakah engkau sanggup meninggalkanku?

Sepurnama demi sepurnama, penantianku tiada terhenti. Menanti saat kau kembali, meninggalkan segala-galanya buatku. Tetapi kau tetap tiada, dan aku tetap sendirian. Masih kekal madahku buatmu, namun kepedihan hati menghancurkan segala-galanya. Kau pergi, tidak kembali, langkah tersusun, mengejar alam yang fana! Si anak di sini menangis, menanti bunga yang tidak berputik. Senja nan sayu, merangkak menutup mentari. Mendung berlabuh, bertabur dan berlalu. Siang berganti malam, namun kau tetap tiada. Di sinilah berakhirnya segala-galanya. Di sinilah noktah terakhir madahku buatmu.

Di sinilah berakhirnya rentetan soloku nan pilu. 




___________________________________________



Author's notes (A.N): The work is a bit heavy. And is actually meant as a social critique. It was written during a time when baby dumping was a "trend". It was my first try at "abstrak" as requested by my Head of Department (who remains awesome till this day in his works of abstractness). Well, at least now I can add a Malay section to my Words of Art. Haha


Salam and peace be upon you.
 

0 comments: